Di Indonesia ternyata ada komunitas penggemar arloji. Nama komunitas tersebut adalah Kronometrofilia. Komunitas ini dirintis dari sebuah forum diskusi di Internet pada lima tahun lalu. Kronometrofilia bisa menjadi ajang tukar koleksi atau jual-beli.
Komunitas ini tidak hanya membatasi diri pada kesukaan terhadap arloji. Menurut William, secara harfiah kronometrofilia berarti penggemar alat pengukur waktu (krono = waktu, metro = alat ukur, filia = penggemar). Maka tak mengherankan jika di komunitas ini bergabung juga penggemar arloji saku, jam meja, bahkan jam dinding.
Dari sebuah arloji, banyak hal bisa diungkap. Cerita sejarah, latar belakang mendapatkan, hingga orisinalitas arloji adalah beberapa contoh yang membuat pembicaraan jadi gayeng.
Sekarang anggota komunitas ini telah mencapai lebih dari 400 orang. Mereka kerap berkomunikasi melalui kronometrofilia@yahoogroups.com.
Dalam dua-tiga bulan sekali, mereka mengadakan pertemuan di Jakarta dan di luar Jakarta. Di Jakarta, mereka biasanya berkumpul di Jalan Jaksa, Jakarta Pusat.
Di saat pasar arloji Indonesia sekarang ini dibanjiri barang palsu, atau arloji kanibal (arloji orisinal tapi beberapa komponennya sudah ditukar), Kronometrofilia bisa jadi ajang berbagi informasi dan bertukar pengalaman.
Upaya mendapatkan arloji kuno dan cantik pun memunculkan beragam cerita. Ada yang mendapatkannya di pasar loak, jual-beli sesama kolektor, bahkan mencarinya hingga ke luar negeri. Seperti yang dilakukan oleh William (33). Pak dokter ini amat gandrung dengan merek Seiko.
Menurut William, produsen Jepang selalu membedakan barang yang dijual untuk pasar internasional dengan barang yang dijual di dalam negerinya (Japan Domestic Market). Karena menyangkut harga diri bangsa Jepang, kualitas barang yang dijual di pasar domestik selalu lebih unggul ketimbang untuk pasar internasional.
Bagi Lhucat, ketinggian presisi komponen arloji menunjukkan kegairahan dalam pembuatannya. Kini pria yang bekerja di bidang eksplorasi minyak itu telah mengoleksi sekitar 20 arloji kuno dan antik. Satu arloji miliknya bisa mencapai harga Rp 20 juta. Kebanyakan bermerek Seiko asal Jepang. "Karena dinamis dan harganya terjangkau," kata Lhucat.
Lain halnya dengan Antono Purnomo (38). Ia menyukai arloji merek apa pun. Jumlah koleksinya mencapai 65 buah. Anton, begitu dia akrab disapa, menggandrungi arloji sejak sekolah dasar. Saat kecil ia terkesan oleh iklan sebuah arloji di koran. Iklan itu ia gunting dan potongan kertasnya dikenakan di tangan.
Kini, dalam kondisi apa pun, sebuah arloji pasti bertengger di pergelangan tangan kirinya. "Mau tidur, bahkan mandi pun, saya mengenakan arloji. Saya merasa aneh aja kalau enggak pake," ujar pria yang bekerja di sebuah perusahaan media itu.
"Semua komponen itu superkecil, tapi geriginya dan komponen lainnya sudah sempurna, padahal dibuat tahun 60-an dan proses pembuatannya manual, belum terkomputerisasi," katanya. Hal yang juga membuatnya kagum adalah komponen itu saling merangkai dan berotasi dengan presisi yang tinggi.
Dari :
tempointeraktif.com